Merajut mimpi
By Rizka Nur Hidayah
“Entah mengapa dikau bernama Liska. Mungkin orang tuamu berikan itu dari dalam jiwa”
Aku adalah aku, yang tak pernah lohat kilaunya intan dan permata. Aku hanya terdiam. Seperti patung. Seperti batu. Hanya rintik air mata yang berlinang. Sahabat adalah segalanya bagiku. Tempat membendung resah dan gelisah. Teman mengarungi suka maupun duka. Sebut saja dia Nuri. Ia menghampiriku perlahan. Seperti api yang ragu-ragu keluar dari arang. Awalnya, bibirnya mengatup tenang. Sorot matanya yang tajam kini menatapku. Kedua tangannya yang halus menyentuh pundakku. Pun dia memelukku. Air mataku tak dapat kubendung lagi. Diriku menangis di peluknya.
Ia mendudukkan aku tuk bersandar sejenak. Aku ingin pejamkan mata ini dan tertidur pulas. Menghapus seluruh asaku. Sedetik tlah berlalu. Pita suaranya bergetar. Sepatah kata keluar dari bibirnya. Akhirkan semua tanya dalam jiwa.
“Mengapa kau menangis?” tuturnya. Ia tertegun. Kugigit bibirku. Kututup raut muka bak air mata. Ku tak ingin air mata merintik lagi. Ku ingin air ini kering. Namun, tangisku pecah. Hingga sinar mataa pelangi penuh tanya.
“Apa bapaku kemari?, tanyanya lagi.
Kuredakan tangis dan anggukkan kepala.
“Dan apa yang terjadi?,” dia bertanya lagi.
Kuhela nafasku dalam-dalam. Kucoba gerakkan bibir ini meski terasa berat. Kabarku tlah usai. Dia memelukku lagi dengan penuh kasih dan sayang. Terasa hangat peluknya. Pelukan seorang sahabat.
Hati terasa perih pedih. Ingatkan diri pada masa silam yang kelam. Hariku, tak dapat kutemui lagi.
Katakan, kekasih terselip di lekang
Lunjak hati inginkan diri
Menanti mentari iringi pelangi
Beradu dengan elegi awan
Sajak akrostik tanpa jeda
Hamparan nada terikat sutera
Merajutnya hingga kekasih tiba
Terpaku bisu kau menatap rupaku
Hendak tersenyum
Hendak tertawa
Hendak memelukku
Oh, senyummu tercekam dalam sawang
Melulu maut intai hidupmu
Siapa aku?
Sahabat sejatimu
Sedetik, semenit, sejam, sehari kini kulewati. Ucapkan niat, teguhkan tekad, untuk berbuat. Jadikan hari penuh arti. Tanpa tinggalkan ilmu yang tercecer dalam nafas. Buat suasana canda tawa ria. Tepiskan gundah dalam jiwa. Kadang terucap intuisi. “Mengapa masa ini terjadi?”, bisik hatiku. Dalam malam bergelut kesepian jingga terpejam bola mataku. Menelusuri ruang kaca Sang Ilahi.
“Kenapa harus aku?, desahku lagi. Kubuka mata ini meski terisi hasrat kantuk. Setapak demi setapak kuturuni tangga. Kubasuh lengan dan kakiku. Kuusap raut wajahku sedingin air menusuk kulit. Lalu berwudlu, bersihkan diri, sucikan hati, tuk bersujud pada Ilahi. Kiblatku ke arah Ka’bah peninggalan Nabi.
Sujud
Allahu Allah
Malam-malamku penuh hitungan tasbih
Rentetan tahmid tak lupa jua
Pun aku ucap takbir
Ya Rahman, Ya Rahim
Maafkan jika tak sempurna mencintai-Mu
Engkau Maha dari segala Maha
“Siapakah aku?”
“Di manakah aku?” dalam kalbu berbisik.
Aku menghuni padepokan santri ini sejak 2 hari yang lalu. Aku menjadi santri atas keinginan dan paksaan orang tuaku. Kurasa, waktu nyantri suatu kehidupan yang unik serta menyenangkan. Maka, indahnya kebebasan yang mengepakkan sayap di luar sana tak jadi buatku rubah pikiran. Meski hati yakini begitu berat tuk jalani.
Walau sejak dulu bukan impianku tuk jalani hidup beliaku di penjara suci. Bangunan tinggi jadi pagar dunia luar, hanya bisa dikutip dari sahabat dekat. Setiap hari hanya mengaji dan mengkaji kitab kuning dan kitab suci. Lafadzkan ayat-ayat suci pada Ilahi Rabbi berharap tuk diridlai.
Seribu aturan sempitkan kebebasan. Setiap santri harus berjilbab, tidak boleh memakai pakaian yang ketat-ketat, tidak boleh keluar pada hari yang bukan haknya.
Dilarang menjalin hubungan dengan lawan jenis, makan dan minum tak boleh berdiri, berjalan apalagi, tidak boleh tertawa ataupun berteriak kencang. Dan tentu saja harus berbicara ramah tamah, sopan santun, dan dengan bahasa karma inggil.
Saling menyayangi, menghormati, gotong-royong adalah ciri santri. Sahabat jadi saudara, pengurus jadi orang tua. Semua aturan ditetapkan oleh Bapak Dalem. Betah tidak betah, sanggup tak sanggup aku harus jalani semua ini, mungkin semua sudah takdirku dimana ku harus laksanakan titah orang tuaku. Menjadi seorang santri hanya bias tidur beberapa waktu. Pagi hingga pulang sekolah format harus tahan lapar. Pulang sekolah, istirahat sholat makan. Tak lama kemudian sekolah diniyah. Menjelang Maghrib baru usai. Lalu sholat Maghrib berjamaah dan ngaji makna bersama Bapak Dalem. Jam sepuluh malam hingga subuh terjelang waktu sepenuhnya milikku.
Satu detik waktu adalah penentu detik yang lainnya. Jika bangun terlambat, segalanya akan terlambat. Hukuman demi hukuman akan dialami. Makanan yang kulahap setiap hari, tak buat berselera. Melihat saja aku sudah kenyang dibuatnya. Aku tak mau buat resah orang tuaku. Namun, dengan terseretnya waktu aku bias terima itu.
Memang dalam hidup harus belajar bertirakat. Harus menahan lapar hingga waktu tiba. Layaknya orang sedang puasa. Sungguh nasib yang malang , saat suara perut sedang berdendang, diriku tak kebagihan pangan. Bola mata penuh air mata, kan buat banjir di lantai dua.
Ketika jarum tunjuk angka 01.00. Kucoba baringkan raga, lepaskan semua letih lelah. Biarkan sang pemimpi berikan segumpal bayang. Tapi, tapi “Mengapa mataku tak dapat terpejam?” Akalku seakan merajut angan kembali ke angin lalu, pada kisahku yang dungu.
Masa lalu yang kian sesakkan nafas dalam dada, habiskan air mata hingga raga tak dapat terkendali lagi. Berpalingku darinya, coba lepaskan semua. “Aku tak bisa!, batinku menjerit sungguh pilu kurasa.
Bayang semu sang pelangi terus hantui hari-hari kelamku. Janji antara awan dan hujan tuk slalu bersama arungi samudera luas penuh lintingan ombak. Janji tuk saling lindungi dan saling mengerti.
Janji
Haruskah aku
Berkelana jauh darimu
Menelusuri waktu menembus ruang
Maka aku adalah tamu di hatimu
Lilin kecil telah kaunyalakan
Berikan percikan sinar dalam kelam
Di pojok ruang dia sembunyi
Menanti kekasih datang kembali
Pada kelabu
Izinkanku jadi awan
Berikan terang
Hiruk pikuk dunia
Berdiri jadikan samudera berkuasa
Lantang mengais dalam tinta air mata
Berjalan lintasi untuk senja
Menunggu sang hitam tiba
Menanti rembulan yang dermawan
Bermalam dengan gelisah dan rawan
Hidup ini penuh misteri. Terasing di sini sungguh mendebarkan. Sandarkan angan pada rembulan. Tatap penuh arti sang mentari. Menanti kerlap-kerlip turun ke bumi dalam genggam jari. Dzikir, pikir, ikhtiar kunci keberhasilan diri.
Dengarlah,
Beduk bertabuh dengan ironi
Sajak penuh makna dalam samudera
Iam yang lekat
Tak mudah dilucuti
Adzan surau melayang riang
Jiwa yang menganga
Bak disiram air zam-zam
Hingga asap hilang
Lekas nyata
Ku hamba yang lalai
Saat jiwa lunglai
Air mata berdera
Bagai diri yang terbeli
Abu senja menanti pagi datang, aku bersiap jasmani dan rohani tuk dapatkan ilmu. Gaun putih biru itulah yang melekat di badanku. Sering kali waktu tlah terlewat, hingga guru menegurku.
Entah sadar entah pingsan
Entah khayal entah angan
Tapi ini kenyataan
Hidup hanya mimpi
Tak tahu kapan akan bangunkannya
Tak temu pangkal ujungnya
Ketika petang menjelang, kubasuh raga dengan lantunan air wudlu. Tuk menghadap para Ar-Rahman. Setelah usia, lekas ku kembali ke kamar. Aku duduk terpaku dalam lamunanku hingga sahabatku Ana mengagetkanku.
“Hei, kok ngelamun aja,” tukasnya.
Aku menjadi beku membatu saja saat kuresapi makna hidup ini. Sahabatku Ana yang tak kuhiraukan mencubit lenganku.
“Aku tahu apa yang kamu pikirkan,” ujarnya lagi.
“Masa sih!”, candaku.
“Memangnya apa?”, tanyaku.
“Kamu pasti mikirin cowok kan ? Dan kamu sedang rindu sama dia, “jawabnya sambil mencubitku lagi.
“Emangnya ada to, gak boleh tau, “sahutku.
“Masa sih, ah masa…!” candanya genit.
Aku hanya tersenyum ciut dengarkan ocehannya.
“Kamu pasti teringat keluargamu”, katanya sambil tangannya menunjuk padaku.
Diriku terperanjat dan salju turun lagi di kamarku. Datangkanlah percikan api hingga hingga salju mengering. Kampung yang sederhana terselip sejuta asa. Namun, hamparan derita memasung air mata.
Menali luka dengan sesobek kain perca. Darah tetap menetes, inginnya.
“Ya Rabbi, jadikan ini ajaran suciku. Pautkan hatiku dengannya dan jangan pernah Kau lepas hingga kudapat mahkota tuk kebahagiaan hidup hamba
Tersungkur aku,
Dalam belaian kasih-Mu
Pintaku hanya satu
Beirkan ridlo-Mu
Engkau lebur binar tasbihku
Layaknya musafir
Mengembara temui asa cita
Berarak tapaki lantai berkaca
Di sekolah formal aku dapatkan teman baru jua. Sifat mereka berbeda-beda. Ada yang sombong, ramah, cerewet, baik, kalem, hingga yang suka jail. Canda dan tawa slalu kudapatkan bersama mereka.
Dudukku bersandar di kursi
Rajutan angan kubuat lagi
Kubawa segitiga cermin jiwa
Kutentangkan tepat di depanku
Kutatap raut wajah tercermin
Tak kuhadapi wajah indah dulu
Di sini kuberteman derai sunyi. Terjebak dalam tangis sendu. Terjebak dalam kebagusan egoisme keluargaku. Unda undi pikir tak lekas tinggalkan jejak, beri rangkaian jalan tuk ditatih. Dalam belantara rimba raya, yang kudengar burung berdecip malu seakan mentertawakanku. Hingga kudapat kesempatan kedua. Kupinta orangtuaku tuk memindahkan diriku ke tempat yang lepas tuk bernafas. Bebaskan diri tuk berekspresi. Kembangkan seni dalam potensi. Lanjutkan goresan hitam membentuk bayang.
Yang tertinggal
Lekasku beranjak pergi
Hanya bayang dangkal hilang
Kupanggul dan kujinjing
Kubawa ke mana pergi
Entah apa
Entah mengapa
Sedang muak pada nasibku
Baik napas pun dingin dadaku
Saat kulupa dan istirahat sejam
Oi, aku kembali
Kian lama
Terus hilang
Lalu pudar
Pulang kejayaan
Tapi ingatkau akan sinarmu
Redup atau terang
Pendek atau panjang
Bayang auramu ingatkanku
Pada budi pekertimu
Kini kukembali, ke rumahku, ke pelukan ibu. Meski orangtuaku tak punya harta setinggi menara. Namun, aku merasa lega dan bahagia. Kerja keras adalah semangatku. Untuk menggaet kehidupanku.
Hidup di rumah dan di menara suci memanglah berbeda. Di sana ku seperti dimanja, minta ini itu dibelikan. Jika di rumah banyak aturan. Beli apa-apa menggunakan duit sendiri meski uang itu dari hasil kumpulan uang saku. Ke sawah mata pencaharianku. Sabit, cangkul, karung adalah alatku. Alat untuk menyambung hidupku dan biaya sekolahku.
Daun gugur saat keringnya dahan.
Lihat sekitar menyibak pilu.
Kedipan senyum dari yang tumbuh
Memberi semangat bagi penjaga
Menyusur musim remaja
Gelak tawa nan bahagia
Pun aku tak dapat semua
Rintih hati bersemayam diri
Dengar nada sendu sang mentari
Lalu angin pingsan
Cucurkan air mata, maunya
Dalam diri menyibak sepi
Kekhusukan pada Ilahi Rabbi
Duka dalam dzikirku
Karena berpisah denga kekasihku
Ketulusan niat suci
Bakti pada ibu pertiwi
Dan saatnya nanti
Menuai angin sadar lagi
Pergiliran tanaman di ladang tumpuan harapanku. Harapan tuk lebih maju. Tembakau, padi, kacang, kedelai, jagung adalah pemandangan yang menawan. Mempesona dengan ayunan tubuhnya. Tergiur ke bak air liur dengan hasilnya. Panas dan hujan sahabat sejatiku. Yang selalu temani waktu di rumah sawahku. Saat lelah, aku terduduk di bawah pohon rindang yang sendirian, pada kawan, di tepi jalan, di samping kali. Rasakan semilir angin menerpa. Teringat ku pada sahabatku di penjara suci yang kutinggalkan tanpa pamit, tanpa secarik kertas dan tanpa lambaian perpisahan. Aku yang merasa bersalah saat itu. Seiring waktu bergulir, aku yang selalu mengharapkan pertemuan itu terulang. Inginkan ikatanku seperti air. Air hujan. Mengalir di talang-talang rumah tua. Suara gemericik terngiang di telinga. Tetesnya akam selalu jatuh hingga waktu terhenti sejenak. Takkan dihentikan kilat dan guntur . Dengan cahyanya sang mentari kan jadi pelangi. Eloknya tiada terkira. Menunjukkan kebesaran-Nya.
Hari itu tertanggal 01 Agustus 2008. Aku mulai masuk sekolah baruku. Tentunya dengan sahabat-sahabat baru.
Pagi ini
Mentari bangunkanku
Dengan percikan sinarmu
Pagi ini
Di singgasana
Dia tebarkan pesona
Pagi ini
Sinar bola kaca telah meredup
Hingga embun melayang jatuh dari ranting
Pagi ini
Burung-burung berdecip merdu
Buka pintu hidup baruku
Persaingan antar pelajar begitu ketat. Dengan usaha kerasku kudapatkan juara satu. Jika kuingat masa silam, rasa itu tetap ada. Namun, akan aku ambil hikmah dari itu semua.
Kabut kenangan menunggu petang
Kulumat muara memuram buram
Pucuk meninggi akar merendah
Lihat asa terbang di cakrawala
Tak sengaja
Sayap terbentur awan meremang
Dan lemah bersemayam dalam lilitan benang
Dan aku percaya
“Semua sekolah itu sama
Tergantung bagaimana kita menjadi istimewa.”