POLIGAMI MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NO 1 TAHUN 1974
oleh Imam Ristamaji, S.Ag., SH
Berbicara poligami tak terlepas dari perkawinan, perkawinan itu sendiri menurut bahasa adalah : Nikah yang berarti : berkumpul menjadi satu, sebagimana di katakan oleh orag Arab “Pepohonan itu saling menikah jika satu sama lainnya bercondongan dan mengumpul. Sedangkan menurut Syara’ adalah : suatu aqad yang berisi membolehkan persetubuhan dengan menggunakan lafadz (menikah) atau (mengawinkan) kata “Nikah” secara hakiki bermakna aqad dan secara
Al-Ghazali banyak keuntungan dalam perkawinan diantaranya adalah :
majaziy bermakna persetubuhan (H. Moh. Anwar, Fiqih Islam)
Sedangkan menurut UU No. 1 tahun 1974 pasal 1 perkawinan adalah : Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagaimana suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang suci dan kokoh untuk selamanya. Namun kenyataan di masyarakat menunjukkan lain, untuk melestarikan dan menjaga rumah tangga yang harmonis serta yang penuh kasih sayang antar istri dan anak-anak tidaklah semudah itu. Sebagai contoh : Di dalam kehidupan berumah tangga suami belum puas akan kebutuahn sexualnya kepada istrinya, lalu dia mengambil jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan biologisnya yakni : melakukan hubungan perzinaan dengan orang lain tanpa sepengetahuan istrinya. Tindakan suami tersebut telah melenggar norma-norma dalam perkawinan.
Islam telah mengatur segalanya,apabila seorang laki-laki sudah kawin dan belum puas terhadap istrinya tentang hubungan sex maka Islam membolehkan melakukan Poligami. Suami yang menginginkan poligami harus memenuhi syarat-syarat sesuai UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 5 diantaranya :
1. Adanya persetujuhan dari istri/istri-istri
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Di dalam Al-Qur’an surat Annisa’ ayat 3 telah di sebutkan yang artinya : Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga dan empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil maka kawinilah seorang saja.
Jadi sudah jelas bahwa menurut ayat 3 surat Annisa’ diatas menunjukan perintah kawin yang tidak dimulai dari satu tapi dari dua, tiga dan empat, tetapi kalau takut tidak dapat berlaku adil maka kawinilah olehmu satu orang saja.
Penyusun ingin mengungkapkan apa artinya poligami itu poligami menurut Ensiklopedi Indonesia adalah: sistem perkawinan bahwa seseorang laki-laki mempunyai lebih dari seorang istri yang pasti dalam suatu perkawinan.
Diterangkan didalam kitab hadits Al-Iqnak juz III : hal 16 dan juga dalam hadits Al-Iqro’ yang artinya : Boleh bagi orang merdeka (laki-laki) mengumpulkan dengan menikahi diantara empat wanita merdeka saja, karena mengikuti firman Allah yaitu maka kawinilah olehmu dua, tiga, empat, dan mengikuti hadits Nabi yang menerangkan bahwa Ghilan ketika masuk Islam mempunyai 10 wanita (istri), kemudian dia disuruh memegang empat wanita dan lainnya di ceraikan. (Syaih Muhammad Assarbini Khotib, Al-Iqnak juz III)
Bahwasanya hadits di atas menunjukan diperbolehkan seorang laki-laki kawin lebih dari satu istri Islam juga membolehkan poligami dengan dibatasi paling banyak empat istri sedangkan yang lainnya harus di ceraikan.
Agama islam datang bukan untuk memulai poligami juga tidak memerintahkan poligami dan tidak pula menganjurkan poligami tetapi memperbolehkan poligami. Namun Islam mengutamakan monogami daripada membiarkan kekosongan dikarenakan hikmah perkawinan yang menimpa istri, seperti kemandulan, dan tidak sanggupnya karena sakit kronis dan banyak kaum wanita yang terlantar disaat-saat terjadinya ketidak seimbangan jumlah kedua jenis manusia pria dan wanita. (Abbas Mahmud Al-‘Akkad, Wanita Dalam Al-Qu’an).
Berkaitan dengan hukum poligami, maka didalam ketentuan hukum asal usul perkawinan dalam Islam tidaklah mengada-ngada sesuatu yang baru dan belum di kenal tetapi menetapkan apa yang di kehendaki oleh alam adalah : hal tersebut memperbaiki apa yang dipandang perlu dari segi-segi pendidikan yang dapat menjamin manusia selalu berada didalam kebahagiaan yang abadi.
Sehingga syari’at Islam tidak akan mengurangi sesuatupun apa yang dikehendaki oleh alam, yang merupakan asal poligami, hal tersebut bisa dipandang dari dua (2) arah yakni :
1. Syari’at Islam membatasi poligami itu pada jumlah bilangan yang dapat menjamin terpenuhinya hajat orang laki-laki dengan cara tidak mempengaruhi periode-periode dimana tidak adanya daya kesetiaan, daya terima kaum wanita misalnya datang bulan, hamil, melahirkan dan nifas serta masa kesediaan menerima bagi wanita itu berhenti apabila telah mencapai usia putus (tidak datang bulan lagi) yaitu pada usia 60 tahun.
2. Syari’at Islam mewajibkan kepada orang laki-laki berlaku adil dalam tuntutan-tuntutan kehidupan diantara istri-istri tersebut sehingga akan sangat membantu untuk terpeliharanya unsur-unsur ketenangan dan kedamaian serta dapat menjauhkan tindakan-tindakan dholim berfihak dan menyeleweng, inilah kadar-kadar yang disepakati, oleh nash-nash syari’at dan telah disepakati secara bulat oleh ahli-ahli fiqih (Drs. Bakri Arrahman, Hukum Perkawinan Menurut Islam)
Didalam syari’at Islam sudah jelas bahwa perkawinan poligami tidak dianjurkan tetapi di bolehkan dengan catatan seorang yang mau poligami haruslah memenuhi hukum yang telah di tentukan yang paling penting laki-laki harus bisa berbuat adil dan tanggung jawab penuh terhadap istri-istri maupun anak-anak mereka.
Poligami itu sendiri di perbolehkan bahkan Nabi Muhammad SAW pun melakukannya sampai beliau mempunyai 9 istri, akan tetapi motif poligami Rasululah adalah :
1. Untuk menjelaskan Agama
2. Berkaitan dengan penyempurnaan syari’at Islam
3. Membentuk dan membangun manusia seutuhnya.
4. Mengangkat derajat kaum wanita
5. Politik dan dakwah Islam. (S. Ali Yasir Dibalik Poligami Rasulullah SAW)
Sedangkan seorang laki-laki untuk melangsungkan pernikahan dengan poligami harus memenuhi persyaratan selain di dalam hukum Islam juga telah diatur di dalam UU NO: 1 tahun 1974:
Pasal 3 ayat (2): Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal 4 ayat (1): Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimnana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
Pasal 4 ayat (2): Pengadilan di maksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai istri
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5 ayat(1): Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana di maksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus ndi penuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Adanya persetujuan dari istri-istri ,
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Demikianlah poligami itu baru di perbolehkan baik menurut Hukum Islam maupun menurut UU No 1 Tahun 1974 dimana ketentuan tersebut harus betul-betul diperhatikan dan dipenuhi terutama dalam keadilan baik pada istri-istri maupun anak-anak mereka kalau tidak bisa berbuat adil alangkah bainya nikah dengan monogami saja. ARISAN
by Edy Setyawan
Arisan adalah kegiatan yang sangat biasa dilakukan, oleh ibu-ibu rumah tangga, kelompok tahlilan, bahkan tidak jarang dilakukan antar karyawan perusahaan atau instansi. Arisan dilakukan dengan berbagai alasan, mulai dari mencari dana kas kelompok, sekedar silaturahmi, bahkan banyak juga arisan yang menamakan diri pilihan investasi, dan masih banyak lagi.
Ketika awal arisan dimulai, semua peserta dipastikan datang mendaftarkan diri kepada pengurus, ada juga yang mendaftarkan satu nama dengan beberapa nomor undian. Pengurus dengan antusias mencatat calon peserta, meski tahu bahwa dirinya melakukannya dengan anggaran yang terbatas. Terang aja anggaran pengurus terbatas, karena jika terlalu banyak pesertanya pasti protes.
Saat arisan mulai berjalan dua tiga kali, sesama pesrta akan saling menanyakan jika ada peserta yang lain tidak hadir. “Ses, kemarin kemana kok gak datang arisan?” atau “Kang, nyandiae arisan ra teko?” Dengan rasa sangat sungkan peserta yang ditanya mencari-cari alasan, seolah-olah didalam hatinya berjanji “pertemuan depan aku akan datang, malu ah jika tidak”.
Pertengahan arisan biasanya ada beberapa yang langganan absen, hal ini mengakibatkan beberapa peserta yang lain mulai iri dan pengen iku tidak hadir, apalagi jika sudah mendapatkan undian. Sedikit demi sedikit peserta yang absen semakin bertambah.
Pengurus mulai pusing dengan dana-dana yang dititipkan peserta kepada temannya, semakin pusing lagi dengan adanya peserta yang tidak hadir dan tidak menitipkan dananya. Saat inilah pengurus mulai bosan dengan tugasnya, tidak jarang mengeluh minta untuk diganti, meski tidak selalu begitu.
Ketika putaran mulai mencapai dua per tiga atau maksimal tiga per empat. Peserta yang hadir semakin sedikit, bahkan sebagian arisan bubar saat putaran ini.
Kasus ini bukanlah sesuatu yang bisa dirumuskan, tetapi sebagian besar arisan mengalami ini
Sebaiknya kita renungkan, mencari dana kas kelompok kegiatan, membangun siaturahmi atau berinvestasi masihkah layak melalui cara arisan??
Jika ya, it’s ok terus dilakukan; Jika tidak?????
MENGENAL BANGSA ARAB PRA ISLAM
Tidak banyak yang mengetahui tentang Bangsa Arab sebelum Islam. Yang biasanya disebut-sebut dalam berbagai buku dan kesempatan adalah bahwa Bangsa Arab sebelum Islam itu jahiliyah; dan bahwa bangsa Arab sangat piawai membuat syair yang indah. Informasi tentang kondisi politik dan keagamaan mereka tidak banyak disebut-sebut. Tulisan ini akan memaparkan kondisi politik dan keagamaan sebelum kenabian Nabi SAW.
KONDISI POLITIK
Bangsa Arab di semenanjung Arabia terbagi menjadi dua, yaitu (1) Bangsa Arab Yamaniun, Qahthaniun, atau Yaqthaniun; dan (2) Bangsa Arab ‘Adnâniyûn, Nizâriyûn, Mudhâriyûn, atau Makkiyûn. Di antara dua suku bangsa inilah beredar sejarah Arab dan sejarah Islam dalam pergulatan terus menerus persaingan dan perselisihan sengit.
Qahthaniun (Yamaniun) aslinya bermukim di wilayah Selatan, di daerah Yaman, yaitu daerah Jazirah Arab yang paling subur. Di sana pernah berdiri beberapa kerajaan, di antaranya kerajaan Ma’n dan Hadromaut yang beribukota di Saba ’ yang terkenal.
Adnaniun (Makkiun) bermukim di sekitar kota Makkah, hingga kekuasaan terpusat kepada kabilah Quraisy di bawah pimpinan Qushai ibn Kilab, lalu tinggal di dalam kota Makkah dan membentuk sistem politik.
Ketika bendungan Ma’rib jebol (setelah banjir Sail al-‘Arimi antara tahun 447-450 M/ lalu 532 M) hancurlah kerajaan Saba ’, ibukota Hadromaut, sehingga banyak dari Qahthaniun pindah ke utara. Satu kabilah dari mereka, selama beberapa waktu tinggal di Makkah, yaitu kabilah Bani Khuza’ah, lalu pindah lagi. Sebagian Qahthaniun ada yang tinggal di Madinah, lalu membentuk dua kabilah, yaitu Aus dan Khozroj, yaitu kabilah yang kemudian menjadi golongan Anshor pada masa Islam. Sebagian lain pindah ke Utara jauh di Syria dan sebagian lagi ke Utara dekat di daerah-daerah Arab. Di daerah yang disebut terakhir mereka membentuk kerajaan Ghassâsinah yang tunduk kepada Bizantium Romawi (Romawi Timur). Bizantium mengandalkan kerajaan ini dari serangan suku Badui Arab, sebagaimana yang dilakukan Persia mengandalkan kerajaan Herah, yang terletak di daerah Irak sekarang.
Secara teori ada ada 2 pembagian bangsa Arab di jazirah Arab:
Teori pertama mengatakan bahwa bangsa Arab terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu (1) Arab ‘Âribah. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah kabilah ‘Ad, Tsamud, Thasm dan lain-lain yang telah binasa; (2) Arab Muta’arribah, yakni kabilah Yamaniun Qahthaniun yang dianggap bangsa Arab derajat kedua; dan (3) Arab Musta’ribah atau ‘Adnaniun yang dianggap derajat ketiga.
Teori Kedua mengatakan bahwa bangsa Arab terbagi menjadi dua kelompok, yaitu (1) Arab ‘Aribah. Mereka adalah Qahthaniun yang merupakan Arab derajat pertama; dan (2) Arab Musta’ribah, mereka adalah ‘Adnaniun, merupakan bangsa Arab derajat kedua.
Bangsa Arab suka membangga-banggakan suku masing-masing. Qahthaniun Yamaniun menggunakan serban warna kuning dan panji-panji warna kuning, sedangkan Adnaniun Makkiun menggunakan serban warna merah dan panji-panji warna merah. Setiap kelompok selalu membawa panji-panjinya masing-masing saat berperang.
Sejak Qushai Ibn Kilab menempatkan suku Quraisy di Makkah dan membentuk ‘Ushbah (sebelum disebut kabilah Nadhar Ibn Kinanah), ia telah mendirikan sebuah institusi yang disebut Dâr al-Nadwah sebagai pusat kegiatan politik, kemasyarakatan, dan kekabilahan. Jadilah Quraisy punya sistem politik dan administrasi yang terdiri dari Hijâbah, Siqâyah, Rifâdah, Nadwah, Liwâ’, Qiyâdah, Masyûrah, Asynâq, Qubbah, Sifârah, Îsâr dan Azlâm, dan Hukûmah.
Kabilah Quraisy terbagi kedalam 2 rumpun besar dan delapan rumpun yang lebih kecil. Rumpun tersebut disebut bathn. Dua rumpun besar tersebut adalah Bani Hasyim, dimana Nabi Muhammad adalah salah satu keturunannya, dan Bani Umayyah (‘Abd Syams). Rumpun-rumpun lain yang lebih kecil adalah rumpun Naufal, ‘Abd al-Dâr, Asad, Taym, Makhzûm, ‘Adi, Jamh, dan Sahm. Melihat persaingan sengit untuk meraih kepemimpinan antara dua rumpun besar, Bani Hasyim dan Bani Umayyah, dan salah satu keduanya tidak mampu menjadi pemenang untuk mengontrol lainnya dan rumpun-rumpun lain, agar punya satu kepemimpinan dan satu kerajaan, maka Quraisy membagi sistem politik dan administrasinya kepada seluruh rumpun; barangkali sambil menunggu kesempatan adanya pemimpin yang unggul dari salah satu rumpun besar untuk mengontrol dan mengumpulkan seluruh rumpun di bawah satu kerajaan.
Pembagian tugas administrasi dapat dijelaskan masing-masing sebagai berikut: Hijâbah bertanggung jawab atas kunci Baitullah (Ka’bah) menjadi tugas Bani ‘Abd al-Dar dan pada masa Nabi dipegang oleh Utsman Ibn Thalhah.
Siqâyah bertanggungjawab memberi minum semua jama’ah haji dengan air tawar, memberikan kurma, menjadi tugas Bani Hasyim.
Rifâdah bertanggung jawab memberi makan semua jamaah haji menjadi tugas Bani Naufal.
Nadwah, mengelola Dar al-Masyurah tempat berkumpulnya suku Quraisy dan bangsa Arab lain yang berkualifikasi kepemimpinan dan berumur 40 tahun. Pernikahan dari anggota Quraisy hanya boleh dilakukan di sana . Nadwah menjadi tugas Bani ‘Abd al-Dar.
Liwâ’ adalah panji-panji atau bendera yang ditalikan di ujung tombak sebagai petanda berkumpulnya pasukan dalam perang. Panji-panji Quraisy diberi nama ‘al-‘Iqâb’ dan menjadi tugas Bani Umayyah.
Qiyâdah adalah memimpin pasukan dalam peperangan diberikan kepada orang yang berkualifikasi untuk tugas itu. Jika tidak ada, maka menjadi tugas Bani Umayyah dimana liwa’ berada.
Masyûrah adalah majelis musyawarah menjadi tugas Bani Asad.
Asynâq bertanggungjawab atas diyat atau denda hukuman dan piutang menjadi tugas Bani Taym yang di dalamnya ada Abu Bakar.
Qubbah tempat penyimpanan peralatan perang menjadi tugas Bani Makhzum, di dalamnya ada Khalid Ibn al-Walid.
Sifârah mengadakan perdamaian antar warga, antara kabilah, atau cabang-cabang lain. Menjadi tugas Bani ‘Adi ( di dalamnya ada Umar Ibn al-Khaththab).
Dan Îsâr dan Azlâm adalah menyelenggarakan judi dan mengeluarkan busur panah pengundi nasib menjadi tugas Bani Jamh.
Sedangkan Hukûmah adalah peradilan dan menyelesaikan sengketa antar warga –dengan ihtikâm (arbritase)- dan mengelola harta muhajjarah (harta wakaf) menjadi tugas Bani Sahm.
Pembagian tugas kepada seluruh kabilah Quraisy pada hakekatnya adalah pembagian kekuasaan di antara mereka, karena belum ada seorang pemimpin kuat dan ditaati yang dapat menyatukan semua rumpun kabilah di bawah panji-panjinya.
Sebenarnya, ada beberapa istilah Arab untuk kata kerajaan (mulk) dan raja (malik). Untuk kerajaan biasanya digunakan istilah imarah, riyasah, zi’amah, dan sulthan. Sedang untuk raja (malik) istilah yang digunakan adalah amir, ra’is, atau za’im. Di antaranya adalah malikah atau Ratu Saba’ dan Imri’ al-Qays raja kerajaan Hera yang menggelari dirinya Malik al-‘Arab kullihim (raja seluruh bangsa Arab), serta raja-raja Ghassasinah di Utara.
Istilah Sayyid dan Amîr banyak digunakan bangsa Arab Najd dan Hijaz, sedangkan di wilayah Yaman digunakan istilah ra’îs, za’îm, atau hâkim, serta Qîl.
Ringkasnya di semenanjung Arabia –pada masa jahiliyah- terdapat banyak kerajaan dan banyak raja, kecuali daerah Hijaz, khususnya Makkah. Hal itu karena adanya persaingan dan pergulatan politik yang sangat sengit antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah dan upaya menjaga keseimbangan antara keduanya. Di sana tidak ada raja, tetapi kepemimpinan dan kekuasaan dibagi kepada seluruh rumpun kabilah Quraisy.
KONDISI KEAGAMAAN
Kondisi keagamaan bangsa Arab dapat dibagi kedalam tiga kelompok besar; yaitu paganisme, hanifiyah, dan Yahudi-Nasrani.
1. Paganisme
Semenanjung Arabia, sebelum kenabian, penuh dengan kepercayaan dan syariat. Dari syair Arab jahiliyah diketahui bahwa bangsa Arab mengetahui adanya Tuhan Yang Esa dan Maha Kuasa, Dia adalah Allah. Tetapi setiap kabilah mempunyai sesembahan lain berbentuk berhala.
Lata (nama perempuan Allah), yang terkenal dalam kisah penghancuran saat penaklukan kota Makkah oleh Nabi, adalah personifikasi dari batu karang di Thaif dan disembah oleh Tsaqif. Uzza merupakan perwujudan pohon-pohon di lembah Nakhlah di sisi kanan orang yang berjalan menuju Irak, diagungkan oleh Quraisy dan Bani Kinanah. Manâh adalah tuhan kematian, perwujudan batu karang di tepi laut yang selalu dilumuri dengan darah hewan korban, diagungkan oleh kabilah Azdi, Aus, dan Khozroj. Sedangkan Hubâl dibuat dari batu pualam dalam bentuk seperti manusia.
Untuk memperkuat posisi Quraisy di antara bangsa Arab, dan untuk menguatkan posisi Ka’bah di mata mereka, maka tuhan-tuhan bangsa Arab tersebut diletakkan di sekitar Ka’bah untuk mengikatkan hati mereka kepadanya. Mereka bangsa Arab membuat berhala-berhala ini sebagai syafa’at kepada Allah.
2. Hanifiyah
Di antara orang Arab ada yang melaksanakan sholat dengan cara yang tidak dikenal, mereka juga puasa dan bertahannuts seperti yang dilakukan oleh Abdul Mutholib pada bulan Ramadhan, dan berpuasa dengan cara yang sama dengan yang diwajibkan di dalam Qur’an atas kaum muslimin. Bangsa Arab juga melaksanakan umroh dan haji dengan cara yang sama dengan yang diwajibkan kepada kaum muslimin.
Sebelum kenabian muncul sebuah kelompok yang menamakan diri al-Hanîfiyyah. Kata tersebut diambil dari kata Hanîf al-‘Ibary. Sedangkan kaum Yahudi menyebutnya untuk setiap orang non Yahudi yang berkhitan, dan orang Arab menyebutnya untuk sesuatu atau orang yang lurus. Konon setiap orang Arab yang memeluk agama Ibrahim. Salah satu ajaran agama hanif adalah berkhitan. Maka tatkala Islam datang, mereka menyebut orang Islam dengan hanif.
Dari kelompok hanifiyyah yang paling terkenal adalah Waraqah Ibn Naufal, Umayyah Ibn Abi al-Shalt, Quss Ibn Sa’idah, Zaid Ibn ‘Amr Ibn Nufail, Utsman Ibn al-Huwairits dan Ubaidillah Ibn Jahsy. Konon Abdul Mutholib, kakek Nabi, adalah pemeluk Hanifiyah.
3. Kaum Yahudi tersebar di semenanjung Arabia beberapa abad sebelum kenabian. Mereka mendiami Taimâ’, Fadak, Khaibar, Wâdi al-Qura, dan Yatsrib. Tetapi yang paling penting adalah yang tinggal di Yatsrib (Madinah). Ada tiga kabilah utama Yahudi yang tinggal di sana , yaitu: Bani Nadhir, Bani Qainuqa’, dan Bani Quraizhah.
Beberapa peneliti berpendapat bahwa kaum Yahudi di negara-negara Arab tidak menjalankan Talmudz secara murni, tetapi dengan takwil sesuai situasi dan kondisi.
Kaum Yahudi punya kitab yang suci, yaitu Perjanjian Lama yang disebut Taurat. Mereka menyebutnya Alkitab dan diyakini diwahyukan dari Allah kepada para nabi-Nya kata demi kata. Mereka sholat lima waktu setiap hari yang diringkas menjadi tiga kali, yaitu pada permulaan siang, tengah hari, dan malam. Mereka punya doa yang dibacanya tatkala fajar sebelum matahari terbit. Mereka melaksanakan puasa Asyura’ (hari Kaibur) pada hari kesepuluh bulan Tisyrin, mereka dituntut untuk berbuat baik dan memberikan shodakoh (zedakah). Mereka menghadapkan wajah ke Baitul Maqdis ketika sembahyang. Perempuan-perempuan mereka diijinkan masuk sinagog hari Sabtu dengan syarat memasang tirai.
Jadi, kondisi keagamaan bangsa Arab pra-Islam adalah sebenarnya mereka mengenal adanya Tuhan, mereka beriman, akan tetapi dengan cara yang berbeda-beda. Kelompok yang pertama mereka beriman, tetapi di sisi lain mereka juga musyrik karena menyembah tuhan-tuhan lain yang mereka ciptakan sendiri, yaitu berhala-berhala. Oleh karenanya, lebih tepat kalau kabilah Quraisy disebut sebagai kaum Muyrikin Quraisy. Sedang kelompok kedua (hanifiyah), mereka mengenal dan menyembah Allah sebagaimana ajaran Nabi Ibrahim, sedangkan ketiga adalah kelompok Yahudi dan Nashrani yang juga menyembah Allah sebagaimana ajaran agama Samawi, tetapi telah banyak menyeleweng dari kitab sucinya.
Dari kedua kondisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa di satu sisi Quraisy sangat menginginkan seorang raja yang dapat menyatukan mereka di bawah satu kepemimpinan dan pada sisi lain sebagai pelayan rumah suci, Ka’bah, dan banyaknya kepercayaan mereka menginginkan seorang Nabi yang dapat memberikan bimbingan dan menuntun mereka ke jalan yang benar. Oleh karena itu, maka tak mengherankan kalau kaum Quraisy sebenarnya mengharapkan munculnya seorang Nabi yang sekaligus Raja. Sebagaimana diisyaratkan oleh Qur’an surat al-Zukhruf ayat 31. yang artinya: “Dan mereka berkata: "Mengapa Al Quran ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?" (al-Zukhruf:31). Maksudnya mereka menginginkan risalah berada di tangan al-Walîd ibn al-Mughîrah, seorang tokoh kota Makkah atau ‘Urwah Ibn Mas’ûd al-Tsaqafi, seorang tokoh Thaif. Maka ketika Allah mengirimkan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul mereka tidak menyambutnya dengan gembira, karena tidak seperti yang mereka harapkan, sehingga tantangan demi tantangan, siksaan demi siksaan, datang silih berganti, untuk mengalangi sepak terjang beliau.
Al-Qur’an telah membantah pemahaman mereka itu dengan ayat Qur’an dalam surat al-An’am ayat 124, yang artinya: “Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. (al-An’âm: 124). Allah lebih mengetahui apa yang diperbuat-Nya, yang mereka perlukan sebenarnya adalah agama tauhid yang benar dan akhlakul karimah, bukan kekuasaan seperti raja atau sejenisnya.